[Review Buku Anak] Asal Usul Penamaan Sumber Mata Air Pentungan Sari
Judul Buku : Asal Usul Penamaan Sumber Mata Air Pentungan Sari
Pengarang : Sony Sukmawan, dkk
Penerbit : MNC Publishing
Terbit : Cetakan pertama, 2021
Tebal : 25 halaman
Genre buku : buku anak
Rating : 3,5/5⭐
Harga buku : Rp 45.000
Baca ebook di aplikasi Gramedia Digital
❤️❤️❤️
Sinopsis Buku :
Cerita rakyat merupakan salah satu warisan kebudayaan Indonesia yang berkembang di tengah masyarakat dan harus senantiasa kita lestarikan.
Melalui visualisasi cerita rakyat lisan ke dalam cerita bergambar ini, Tim Penelitian Hibah Lektor Kepala (HDLK) mencoba memperkenalkan salah satu cerita rakyat daerah yang berasal dari pedukuhan Gelatik, desa Toyomarto yang berjudul "Asal Usul Penamaan Sumber Mata Air Pentungan Sari".
⭐⭐⭐
Resensi Buku :
Buku anak ini mengisahkan tentang perpindahan masyarakat ke sebuah daerah baru yang masih berupa hutan. Hutan ini sangat asri dan dapat ditumbuhi berbagai macam tanaman.
Sayangnya, saat akan melaksanakan panen raya, ladang warga justru mendapatkan serangan dari para babi hutan. Maka dari itu, warga pun sepakat untuk mencari tahu hama apa yang sedang menyerang ladang.
Saat malam hari, para babi hutan masuk ke ladang warga. Saat itulah mereka mengejar babi hutan itu dan melukai hingga berceceran darah. Para babi yang terluka terperosok masuk ke dalam kolam mata air yang dimiliki dusun itu.
Sesaat, mereka mengira akan bisa menangkap babi yang terluka. Namun ternyata, para babi justru keluar dari mata air itu dalam kondisi sehat. Seolah air itu telah menyembuhkan luka-lukanya.
Sejak saat itu, sumber mata air itu dinamai dengan sumber mata air Pentungan Sari. Dan kelak menjadi idaman para warga.
Sumber mata air Pentungan Sari kini telah berkembang menjadi obyek wisata Malang.
Ada kolam renang Pentungan Sari yang terletak di Dusun Bodean Putuk, Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur 65153.
Kelebihan buku :
Buku anak ini dituliskan dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
Selain itu, dongeng yang digunakan adalah cerita yang turun temurun dan berkembang secara lisan di kalangan masyarakat daerah Malang.
Dongeng rakyat itu dituliskan kembali dalam bentuk buku anak agar dapat dikonsumsi masyarakat secara luas.
Kekurangan Buku :
Ada beberapa kata yang typo dalam buku ini, antara lain : kata "di tempati/di panggeni" seharusnya ditulis "ditempati/dipanggeni".
Ada kata "mengali" yang typo. Harusnya ditulis "menggali". Kata "berjalanya", harusnya ditulis "berjalannya".
Kalau dalam bahasa Tegal, kata "dipanggeni" berubah jadi kata "dipanggoni". Memang bahasa Jawa banyak ragam dialeknya, dan yang dipakai dalam buku dongeng anak ini adalah bahasa Jawa khas Jawa Timur, terutama daerah Malang.
Sayangnya, dalam buku anak ini tidak ada penomoran halaman. Jadi saat sedang baca, saya nggak tahu buku ini sudah sampai halaman mana. Padahal biasanya meskipun pictorial book, tetap ada penomoran di ujung halaman bagian kanan bawah.
Ya... Hal ini memudahkan pembaca untuk mengecek halaman terakhir yang dibaca. Apalagi jika dongeng anak biasanya dibaca berulang-ulang ya. Jadi buku anak ini tetap butuh penomoran halaman.
Ada juga beberapa kata yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Mungkin karena penulis tidak menemukan padanan kata yang tepat.
Misalnya kata : "menggali", "kita", "apa", "porak poranda", "kaget", "meresahkan", "bersepakat", "rencana" yang dibiarkan begitu saja, tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa.
Seingat saya, kata "apa" bisa diterjemahkan jadi "nopo" dalam bahasa Jawa.
Dalam konteks kalimatnya, maka kalimat ini harus direvisi.
"Kados pundi yen mengko dalu kita, jaga kangge nyumerepi hama apa seng wis nggrusak tanduran."
Ada ketidakkonsistenan pada penggunaan tingkatan bahasa Jawa dalam buku anak ini.
Misalnya : kata "mbikak" yang artinya membuka. Seharusnya pakai kata mbukak, jika ingin pakai Jawa ngoko.
Tapi kalau pakai kromo inggil, kata "mbikak" lebih bagus. Tapi saya kok nggak pernah dengar orang pakai bahasa Jawa untuk kata "mbikak" ya?
Sedangkan kata "kanggo" seharusnya pakai kata "kangge", jika ingin menggunakan kromo inggil yang memberi kesan bahasa Jawa yang lebih halus.
Nah, ini kalimat yang saya maksud.
".... kaliyan mbikak pemukiman lan ladang kanggo upaya njogo kelorone."
Trus, kata "bisa" seharusnya diterjemahkan menjadi "saget".
Dalam kalimat ini yang dimaksud :
"... bisa njaga kesinambungan hidup semua makhluk."
Agak aneh nggak sih, karena penulis seakan menerjemahkan hanya sepotong-sepotong aja. Tidak utuh dalam satu kalimat menggunakan bahasa Jawa kromo inggil secara penuh hingga akhir buku.
Ada typo lagi yaitu kata "cipatan tuhan", seharusnya ditulis menjadi "ciptaan Tuhan". Yaa... Meski saya juga bingung kenapa kata "ciptaan Tuhan" nggak diterjemahkan ke bahasa Jawa juga.
Overall, buku dongeng ini bisa jadi alternatif cerita dongeng rakyat yang dapat dinikmati oleh anak-anak. Nah, selamat membaca ya! 😍
❤️❤️❤️
Komentar
Posting Komentar